Teguh Santosa (tengah kaca mata hitam) bersama delegasi wartawan ASEAN yang menghadiri Pertemuan Khusus Menlu ASEAN dan India di New Delhi./Ist
MENARA setinggi 72,5 meter ini dibangun di atas reruntuhan Lal Kot atau Qila Rai Pitora yang merupakan ibukota Dhilika pada masa pra Islam. Kapan persisnya pembangunan menara kemenangan ini dimulai masih jadi perdebatan. Diperkirakan di antara 1192 sampai 1198, bersamaan atau barangkali setelah pembangunan Masjid Qubatul Islam di kompleks Qutb Minar ini dirampungkan.
Asal usul nama Qutb Minar juga masih jadi kajian. Ada yang menganggap nama Qutb Minar diambil dari nama seorang sufi Sunni aliran Tarekat Chishti, Qutb ul Aqtab Khwaja Sayyid Muhammad Bakhtiyar Al Hussaini atau Qutbuddin Bakhtiar Kaki yang hidup antara 1173 sampai 1235.
Tarekat Chishti dikembangkan ulama Abu Ishaq Shami dari kota Chist di Herat, Afghanistan kini. Sementara Qutubuddin Bakhtiar Kaki yang lahir di kota Osh, Kirgistan kini, mengembangkan dakwahnya di utara Asia Kecil.
Ada juga yang menganggap nama Qutb Minar diambil dari nama Sultan Qutubuddin Aybak (1150-1210) yang mendirikan Dinasti Mamluk di daratan Asia Kecil yang kini kita kenal sebagai India.
Rasanya, saya lebih percaya anggapan yang ini.
***
Saya mengunjungi kompleks Qutb Minar hari Rabu kemarin (15/6), bersama delegasi wartawan dari negara-negara anggota ASEAN yang diundang Kementerian Luar Negeri India untuk menghadiri Pertemuan Khusus Menlu ASEAN dan India, juga Delhi Dialogue ke-12.
Mengenai jalan dan isi pertemuan sudah saya laporkan melalui Kantor Berita Politik RMOL. Ada beberapa angle lain yang akan dituliskan.
Secara umum ini adalah pertemuan yang sangat strategis. Tidak hanya untuk memetakan kembali hubungan India dan ASEAN yang sudah berlangsung sejak 1992, setahun setelah Uni Soviet runtuh dan Perang Dingin berakhir, setahun setelah Perdana Menteri Narasimha Rao memperkenalkan "Look East Policy".
Tapi juga untuk membaca ulang konstelasi geopolitik dunia yang mengalami perubahan-perubahan radikal dalam dua atau setidaknya satu dekade belakangan.
Sepuluh tahun lalu, hubungan ASEAN dan India telah ditingkatkan ke level kemitraan strategis. Di tahun 2012 itu tantangan yang dihadapi dunia sudah sangat rumit. Dan semakin rumit akhir-akhir ini.
Tahun 2014 Perdana Menteri Narendra Modi mengupgrade "Look East Policy" menjadi "Act East Policy". Agar lebih substansial dan tidak hanya di atas kertas.
Setahun setelah itu, Perdana Menteri Modi berkunjung ke Beijing. Ini adalah kunjungan pertamanya ke China sebagai Perdana Menteri. Sebelumnya, saat menjadi Chief Minister Gujarat, Modi empat kali mengunjungi China. Perdana Menteri Modi dikenal sebagai pejabat publik India yang paling sering berkunjung ke China.
Sementara Menlu India S. Jaisankhar pernah bertugas sebagai Dutabesar India untuk China dari tahun 2009 sampai 2013. Sebelum ia ditugaskan menjadi Dubes AS dari 2013 sampai 2015.
Pengalaman interaksi dan pengetahuan mereka berdua, Perdana Menteri Modi dan Menlu Jaishankar, tentang China rasanya adalah modal besar yang dimiliki India untuk menata hubungan dengan China.
Tapi rupanya itu juga belum cukup. Kompetisi India dan China yang juga merengsek di kawasan semakin terbuka.
Terutama setelah China mengupgrade One Belt One Road (OBOR) menjadi Belt and Road Initiative (BRI) dalam Kongres Partai Komunis China 2017.
Sebelum Xi Jinping mulai berkuasa di China tahun 2012 pun India sudah mendapatkan serangan dari China. Bukan hanya di daratan, di perbatasan kedua negara di Himalaya. Tapi juga di lautan.
Di awal 2000an, "String of Pearls" atau upaya China menjalin hubungan baik dengan negara-negara yang memiliki pantai dari Timur Tengah sampai Asia Tenggara demi mengamankan suplai minyak di sisi lain malah mengisolasi atau setidaknya menekan pengaruh India di kawasan.
Jadi begitulah, suhu politik dunia semakin tinggi. Seperti ketel tertutup yang dipanaskan dari bawah. Tak ada jalan keluar yang cukup untuk mengalirkan tekanan. Satu-satunya cara untuk menghindarkan ledakan ketel adalah menghentikan atau paling tidak mengurangi pemanasan. Tapi bagaimana?
Dalam pembukaan Pertemuan Khusus Menlu ASEAN dan India kemarin, pimpinan sidang, Menlu India S. Jaisankhar dan Menlu Singapura Vivian Balakrishnan, menyinggung soal pemanasan ini.
Rivalitas AS dan China yang terus terjadi dan semakin intens, pandemi Covid-19 dan pelemahan ekonomi sebagai dampaknya, juga konflik Rusia dan Ukraina yang mengancam stabilitas dunia pasca Perang Dingin dan mengganggu kondusifitas ekonomi dunia. Dus, satu hal lain yang tak dinyatakan tapi sangat dapat dirasakan, persaingan terbuka India dan China.
Kira-kira begitu.
Untuk sementara saya kembali ke Qutb Minar.
***
Qutubuddin Aybak lahir di Turkmenistan. Di usia yang masih amat muda, ia dijual sebagai budak (mamluk).
Di Nashipur, Iran kini, tuannya mengajarkan Qutubuddin berbagai ilmu perang, termasuk menunggang kuda dan memanah.
Pada fase berikutnya, ia dijual kepada penguasa Ghazni, Muhammad Ghuri, yang kelak berkuasa di timur Iran kini, Asia Tengah termasuk Afghanistan, dan utara India.
Bersama Sultan Ghuri, karier militer Qutubuddin Aybak menanjak dengan cepat. Ia terlibat dalam pertempuran demi pertempuran yang menentukan perluasaan kekuasaan sang Sultan.
Di tahun 1192 pasukan Sultan Ghuri berhadapan dengan pasukan Konfederasi Rajput yang dipimpin langsung oleh sang penguasa, Prithviraj Chauvan.
Dalam pertempuran di kota Tarai, sekarang Tarori sekitar 110 km di utara Delhi, Sultan Ghuri kembali memberi kepercayaan kepada Qutubuddin Aybak sebagai panglima yang memimpin serangan.
Ini bukan pertempuran yang mudah. Pasukan Ghuri kalah banyak. Diperkirakan hanya 120 ribu orang. Sementara pihak lawan diperkirakan sebanyak 300 ribu orang. Di akhir pertempuran, Prithviraj Chauvan menyerah, dan sejumlah jenderal pentingnya tewas.
Ini peperangan yang sangat menentukan perjalanan karier Qutubuddin, juga perluasan pengaruh kerajaan Islam di Asia Kecil. Setelah kemenangan di Tarai itu, Muhammad Ghuri menempatkan Qutubuddin sebagai penguasa di utara India, termasuk Delhi.
Ketika Sultan Ghuri meninggal dunia di tahun 1206, Qutubuddin mempertahankan domainnya di India dan memindahkan pusat pemerintahannya ke Lahore, yang kini berada di wilayah Pakistan.
Qutubuddin Aybak meninggal tahun 1210 setelah terjatuh dari kuda ketika sedang bermain chovgan, semacam polo.
Ia dimakamkan di Anarkali Bazaar di Lahore.
Insya Allah, suatu hari nanti saya akan mengunjungi makamnya: Qutubuddin Aybak Sang Budak.
Teguh Santosa adalah pendiri Kantor Berita Politik Republik Merdeka atau RMOL.Memiliki minat dan ketertarikan pada dunia pers sejak masih muda, kini Teguh sedang menyelesaikan pendidikan doktoral di Jurusan Hubungan Internasional Unpad, selain itu juga sedang aktif menulis beberapa buku, diantaranya "Perdamaian yang Buruk, Perang yang Baik".